Optimalisasi TI Untuk Pajak

Koran REPUBLIKA 7 November 2019, Halaman 6

Dirjen Pajak yang baru Suryo Utomo dilantik oleh Menteri Keuangan RI saat dunia menghadapi ancaman kelesuan ekonomi sebagai akibat adanya perang dagang yang semakin memanas, suhu geopolitik yang semakin meningkat dan ketidakpastian pasar keuangan. Sama halnya negara lain di dunia, Indonesia harus tetap waspada untuk dapat mengantisipasi segala risiko global tersebut. Situasi yang kurang menguntungkan ini menyebabkan kinerja perekonomian domestik menjadi melemah yang ditandai dengan menurunnya kinerja ekspor Indonesia sehingga menyebabkan melebarnya defisit neraca perdagangan.

WhatsApp Image 2019-11-07 at 08.10.20

Untuk itu, fungsi APBN sebagai instrumen stabilisasi menjadi sangat penting. Pada saat seperti ini, APBN diperlukan sebagai stimulus perekonomian melaui kebijakan pembelanjaannya yang berkualitas. Belanja negara tahun 2020 yang direncanakan sebesar Rp. 2.540,4 triliun harus mampu memberikan multiplier effect dalam meningkatkan daya saing nasional. Sementara itu, pendapatan negara direncanakan menjadi sebesar Rp.2.333,2 triliun yang berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.865,7 triliun dan penerimaan bukan pajak sebesar Rp367,0 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp0,5 triliun. Dengan demikian, pada APBN 2020, pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan target defisit anggaran sebesar Rp307,2 triliun atau setara 1,76% dari PDB.

Meningkatnya pendapatan negara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Terutama karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang selama ini menjadi andalan pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi kas negara belum pernah mencapai targetnya selama beberapa tahun terakhir. Capaian penerimaan pajak yang dihasilkan oleh DJP selama lima tahun terakhir  berkisar antara 83,8% – 92,2%. Sementara itu, rasio pajak (tax ratio) Indonesia tahun 2018 mencapai sebesar 11,5 persen, yaitu meningkat 0,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Walaupun terjadi peningkatan pertama kalinya setelah rasio pajak menurun terus menurus selama lima tahun terakhir, rasio pajak ini masih kecil bila dibanding negara Asia Pasific lainnya (OECD,2019).

Saat memberikan pendapat akhir di hadapan para anggota DPR dalam Sidang Paripurna Penetapan APBN 2020, Menteri Keuangan RI menyatakan bahwa untuk mencapai target pendapatan negara, pemerintah akan terus melakukan berbagai upaya menggali potensi sumber penerimaan, seperti memperluas basis pajak, mencegah kebocoran pemungutan, dan mempermudah pelayanan pada Wajib Pajak agar kepatuhan pajak mengalami peningkatan.

Arah kebijakan tersebut di atas jelas memberikan ruang untuk adanya perluasan basis pajak dari yang selama ini sudah ada. Kebijakan perluasan basis pajak biasa dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Tentu saja diperlukan upaya yang luar biasa agar dapat memberikan hasil yang lebih optimal dari yang sudah ada.

Kemudahan pelayanan juga diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP). Upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada WP secara terus menerus dilakukan oleh DJP diharapkan dapat berkorelasi langsung terhadap tingkat kepatuhan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak. Pelayanan kepada WP harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman, terutama dengan meningkatnya perkembangan dunia teknologi informasi. Dirjen Pajak Suryo Utomo menghadapi tantangan pemanfaatan teknologi informasi terkini guna meningkatkan pelayanan WP yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan WP.

Berdasarkan data yang dikutip dari Indonesia Digital Report, pengguna mobile phone di Indonesia jumlahnya telah melebihi total populasinya. Pelanggan smartphone di Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan mencapai  355,5 juta orang atau setara dengan 133% dari total jumlah penduduk. Aplikasi pada ponsel yang sangat user friendly dan bersifat mobile telah membantu seseorang dalam berinteraksi maupun bertransaksi dalam medsos. Berbagai sistem teknologi informasi berbasis internet juga berkembang sangat pesat.

Contoh sistem yang paling banyak digunakan saat ini adalah location-aware systems. Contoh penggunaannya adalah Waze atau GoogleMap yang memudahkan seseorang dalam mencari lokasi jalan dan rute alternatif apabila terjadi kemacetan. Aplikasi GoJek dan Grab juga menggunakan sistem ini untuk pencarian alamat pelanggan mereka.

Sementara itu kebiasan para pengguna ponsel telah menciptakan bisnis baru yang disebut Big Data. Kebiasaan tersebut diwujudkan dalam basis data yang memberi informasi, pola, serta tren perilaku pengguna yang bermanfaat untuk perencanaan strategis sebuah organisasi. Analisa Big Data juga dapat digunakan untuk memberi informasi kepada orang-orang yang tepat dalam hal zona wilayah, kebiasaan/perilaku, golongan usia dan jenis kelamin.

Berbagai aplikasi tersebut ditunjang dengan infrastruktur teknologi berupa komputasi awan (cloud computing). Aplikasi mobile membutuhkan jaringan yang teruji, media penyimpanan yang besar dan penyedia, layanan yang dinamis dengan biaya seminimal mungkin. Semua hal ini dapat terjawab dengan komputasi awan. Berbagai kecanggihan teknologi informasi tersebut juga membuat munculnya usaha rintisan (start up) baru di bidang layanan keuangan digital yang disebut financial technology (Fintech).

Perkembangan ecommerce, social media, location-aware system, big data analytic, cloud computing dan financial technology dapat dijadikan acuan dasar untuk melakukan peningkatan pelayanan kepada WP. Dengan tidak terbatasnya kapasitas cloud computing pada saat ini, pelayanan kepada WP dapat dilakukan terpusat secara online melalui aplikasi mobile. Pelayanan ini dapat diujicobakan pada wilayah yang penetrasi internetnya besar. Berdasakan data dari APJII, pengguna internet terbesar ada di Pulau Jawa sebesar 55,7% sehingga dapat diujicobakan di Pulau Jawa terlebih dahulu.

Bila DJP memiliki aplikasi pelayanan mobile yang terpusat, maka jajaran DJP yang saat ini bertugas di seksi pelayanan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dapat dialihtugaskan untuk bidang pengawasan pajak. Hal ini sangatlah memungkinkan untuk dilakukan meningat DJP telah memiliki sistem pelayanan untuk pendaftaran, pelaporan dan pembayaran pajak secara online, namu semuanya berupa aplikasi terpisah.

Jenis layanan yang dapat dilakukan dengan menggunakan location-aware systems adalah dengan menggunakannya sebagai tagging/penanda untuk Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan menggunakan aplikasi ini, keberadaan alamat WP dapat disandingkan dengan alamat yang tercantum dalam aplikasi sehingga mempermudah proses administrasi selanjutnya. Layanan lainnya dapat diberikan berupa informasi terkait lokasi KPP terdekat dari posisi WP.

Sementara itu, big data dapat digunakan oleh DJP untuk memberikan notifikasi kepada WP terhadap berbagai kewajiban perpajakan yang melekat pada WP. Pola kebiasaan yang ada pada WP melalui media sosial dapat juga digunakan sebagai tambahan informasi yang berguna saat melakukan sosialisasi atau kampanaye perpajakan. Kumpulan data WP tersebut dapat diperoleh dari kunjungan ke situs, medsos dan data pembelian via ecommerce.

Sedangkan untuk platform media sosial, ecommerce maupun fintech, DJP dapat melakukan kolaborasi untuk menambahkan berbagai layanan perpajakan online yang dijadikan sebagai fasilitas kepada WP. Contoh yang sudah dilakukan adalah dengan fasilitas pembayaran pajak melalui online marketplace seperti Bukalapak dan Tokopedia. Fasilitas ini dapat terus dikembangkan ke banyak platform dan dengan menambah jenisnya seperti untuk pendaftaran, penghitungan dan pelaporan WP. Dengan memberikan sebanyak mungkin kanal pelayanan secara online kepada WP, maka pelayanan akan semakin mudah dan dapat dilakukan kapan saja dimana saja.

Teknologi informasi dan segala perkembangannya dapat menjadi sarana peningkatan layanan kepada WP. Dengan bantuan teknologi, layanan kepada WP dapat diserahkan sepenuhnya kepada teknologi, sehingga pegawai DJP dapat difokuskan untuk melakukan pengawasan. Hal ini juga memerlukan perubahan secara fundamental DJP dari sisi organisasi dan pengelolaaan sumber daya manusianya.

 

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Tinggalkan komentar